Di sini akan dibicarakan mengenai ibu susu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Ummu Aiman, Tsuwaibah dan Halimah.
Pertama: Ummu Aiman
Setelah dilahirkan oleh ibunya, Aminah, dia menyusuinya selama tiga atau tujuh hari. Beliau pernah diasuh oleh Ummu Aiman Barakah Al-Habasyiyyah.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, Abu Bakr dan ‘Umar menghampiri Ummu Aiman. Kisahnya dalam hadits berikut ini.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ بَعْدَ وَفَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعُمَرَ انْطَلِقْ بِنَا إِلَى أُمِّ أَيْمَنَ نَزُورُهَا كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فَلَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَيْهَا بَكَتْ فَقَالَا لَهَا مَا يُبْكِيكِ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ مَا أَبْكِي أَنْ لَا أَكُونَ أَعْلَمُ أَنَّ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ لِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَكِنْ أَبْكِي أَنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ مِنَ السَّمَاءِ فَهَيَّجَتْهُمَا عَلَى الْبُكَاءِ فَجَعَلَا يَبْكِيَانِ مَعَهَا
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Bakar pernah berkata kepada Umar, “Marilah kita pergi mengunjungi Ummu Aiman, sebagaimana dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya”. Tatkala kami sampai kepadanya, Ummu Aiman menangis. Maka keduanya berkata kepadanya, “Apa yang membuatmu menangis wahai Ummu Aiman? Sedangkan apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian Ummu Aiman menjawab, “Aku menangis, bukan karena aku tidak tahu bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka Ummu Aiman menggerakkan Abu Bakar dan Umar untuk menangis, sehingga keduanya menangis bersama Ummu Aiman.” (HR. Muslim, no. 2454)
Ummu Aiman sendiri dimerdekakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau dewasa. Lalu Ummu Aiman dinikahi oleh Zaid bin Haritsah. Ummu Aiman sendiri meninggal dunia lima bulan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia. (HR. Muslim, no. 1771)
Kedua: Tsuwaibah (Mawla Abu Lahab)
Kemudian setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disusui oleh Tsuwaibah, bekas budak Abu Lahab selama beberapa hari. Dalam Ar-Rahiq Al-Makhtum (hlm. 72), disebutkan bahwa beliau disusui oleh Tsuwaibah selama satu minggu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan,
أَرْضَعَتْنِى وَأَبَا سَلَمَةَ ثُوَيْبَةُ
“Aku dan Abu Salamah telah disusui oleh Tsuwaibah.” (HR. Bukhari, no. 5101. Lihat Fath Al-Bari, 9: 144)
Disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath (9: 145), kalau dilihat Tsuwaibah dimerdekakan sebelum menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sirah yang berbicara menyelisihi hal ini, Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah sebelum hijrah dan itu setelah menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk waktu yang lama. As-Suhaili juga menceritakan bahwa Tsuwaibah merdeka sebelum menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Urwah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma berkata,
وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ ، كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، َلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ – أي بسوء حال -، قَالَ لَهُ : مَاذَا لَقِيتَ ؟ قَالَ أَبُو لَهَبٍ : لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ
“Tsuwaibah adalah budak yang telah dimerdekakan oleh Abu Lahab, ia menyusui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah Abu Lahab meninggal dunia, beberapa keluarganya melihat Abu Lahab dalam mimpi bahwa keadaannya nanti buruk, sewaktu dia ditanya, “Apa yang telah kamu temukan?” Dia menjawab, “Saya tidak menemukan sesuatu pun setelah kamu. Hanya saja saya telah mendapatkan minuman sebagai balasan dari memerdekakan Tsuwaibah.” (HR. Bukhari, no. 5101)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusu pada Tsuwaibah dari susu puteranya yang bernama Masruh. Tsuwaibah juga pernah menyusui Hamzah bin ‘Abdul Muthallib sebelumnya. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tsuwaibah menyusui Abu Salamah bin ‘Abdil Asad. (Lihat Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 72)
Apakah Tsuwaibah masuk Islam? Mengenai keislamannya, para ulama berselisih pendapat. Abu Nu’aim menyatakan, “Kami tidak mengetahui kalau ada yang menyebutkan keislaman Tsuwaibah.” Intinya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat memuliakan Tsuwaibah. Beliau pernah menemui Tsuwaibah setelah menikah dengan Khadijah. Tsuwaibah meninggal dunia setelah peperangan Khaibar dan Masruh juga meninggal ketika itu. (Fath Al-Bari, 9: 145)
Ketiga: Halimah bin Abi Dzuaib As-Sa’diyah
Kisah Halimah sebagai ibu susu berawal dari rombongan wanita yang mencari bayi yang mau disusui. Di antara mereka adalah Halimah binti Abi Dzuaib As-Sa’diyah radhiyallahu ‘anha. Kemudian ditawarkanlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para wanita itu. Semua wanita tadi menolak tatkala dikatakan bahwa dia adalah anak yatim. Namun, setelah semua wanita telah mendapatkan anak susuan, sementara Halimah radhiyallahu ‘anha belum mendapatkan anak susuan, maka dia kembali menemui beliau dan membawanya pulang. Dalam Shahih Muslim telah dijelaskan mengenai penyusuan ini.
Setelah dua tahun berlalu, Halimah datang bersama beliau kepada ibunya dengan keinginan agar beliau tetap bersamanya karena berkah yang mengiringinya selama Rasulullah tinggal bersama mereka. Akhirnya, beliau tetap bersama Halimah hingga batas waktu yang dia sepakati untuk mengembalikan beliau kepada ibunya.
Kisah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusui pada selain ibunya sangat terkenal dalam kitab-kitab Sirah yang dikisahkan langsung oleh Halimah As-Sa’diyah radhiyallahu ‘anha. Dia menceritakan peristiwa kedatangannya ke Mekkah. Sampai akhirnya memilih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak lagi mendapatkan yang lainnya. Yang terjadi setelah itu, di rumah keluarga Halimah mendapat berkah yang banyak.
Pelajaran dari Persusuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga Dibawa ke Desa
Kita dapat simpulkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja dibawa ke desa dari kota untuk disusui sebagaimana menjadi kebiasaan tokoh-tokoh Arab. Apa sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disusui di pedesaan? Berikut beberapa alasannya.
1- Untuk menghindari polusi pergaulan kota dan untuk menghirup udara segar pedesaan. Apalagi kota Mekkah saat itu didatangi oleh banyak pengunjung yang berasal dari penjuru dunia dengan beragam jenis manusianya. Mereka datang untuk menunaikan haji, kunjungan hingga berdagang dan lainnya. Kondisi tersebut berpotensi mengotori pergaulan dan moral.
2- Bayi yang dikirim untuk diasuh di pedalaman dimaksudkan untuk membiasakan mereka berbahasa Arab yang bagus dan untuk menghindari kesalahan dalam berbahasa Arab. Pelajarannya, penting bagi kita untuk menjaga murninya bahasa Arab yang merupakan bahasa dari kitab suci kita.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan tentang hukum mempelajari bahasa Arab,
وأيضا فإن نفس اللغة العربية من الدين ، ومعرفتها فرض واجب، فإن فهم الكتاب والسنة فرض، ولا يفهم إلا بفهم اللغة العربية، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .
“Dan juga perlu dipahami bahwa bahasa Arab itu sendiri adalah bagian dari agama. Mempelajarinya adalah fardhu wajib. Karena untuk memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah itu wajib. Memahaminya tidaklah bisa kecuali dengan memahami bahasa Arab. Sedangkan kaedah menyatakan, ‘Sesuatu yang wajib yang tidak bisa terpenuhi kecuali dengannya, maka itu dihukumi wajib.’ Kemudian untuk mempelajarinya tadi, ada yang hukumnya fardhu ‘ain dan ada yang hukumnya fardhu kifayah.” (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1: 527)
Silakan pelajari secara lebih lengkap “7 Alasan Kenapa Kita Harus Belajar Bahasa Arab”:
3- Allah menakdirkan Halimah radhiyallahu ‘anha untuk menyusui dengan cara yang tidak mudah. Setelah bertekad untuk meninggalkan Mekkah, dia kembali untuk mengambil Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena awalnya tidak suka. Tetapi setelah berada di pangkuannya dan mendapatkan keberkahan baginya dan keluarganya, dia bertekad untuk tidak melepaskan anak yang pada mulanya ditolak disusun oleh semua wanita.
Kita bisa bayangkan bagaimana kondisi Halimah yang mengambilnya dalam kondisi tidak tulus, tatkala dia berbisik pada dirinya, “Sudah merupakan nasib saya, semua wanita yang lain telah mendapatkan tujuannya terkecuali saya.” Dia lalai dari kebaikan yang telah disiapkan nantinya yang ia tidak tahu.
Alangkah banyaknya fenomena seperti ini yang kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari, kita tergesa-gesa dalam memohon dan mengharapkan sesuatu, padahal kita tidak mengetahui di mana letak kebaikan itu.
Harusnya kita semua ingat akan firman Allah,
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’:19)
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
Ada pelajaran penting yang disampaikan oleh sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya seorang hamba ada yang berharap sesuatu dari perniagaan atau kepemimpinan hingga dimudahkan baginya, kemudian Allah memalingkan nikmatnya itu kepadanya. Kemudian Allah berkata kepada malaikat, “Palingkan dia dari keinginannya itu karena jika Aku mengabulkan keinginannya, maka Aku akan memasukannya ke dalam neraka.” Oleh karena itu, Allah pun menjauhkannya dari keinginannya itu, tetapi hamba itu masih saja berkata, “Fulan telah mengalahkan saya, sungguh untunglah Fulan dibandingkan saya, walaupun pada hakikatnya itu adalah karunia dari Allah ‘azza wa jalla.” (Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 1: 470)
Balas Berbuat Baik
Kita lihat dalam kisah ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berbuat baik dengan ibu susunya, yaitu Ummu Aiman dan Tsuwaibah. Pelajaran yang bisa kita ambil adalah kita harus pandai balas budi.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَن صَنَعَ إِليكُم مَعرُوفًا فَكَافِئُوه ، فَإِن لَم تَجِدُوا مَا تُكَافِئُوا بِهِ فَادعُوا لَهُ حَتَّى تَرَوا أَنَّكُم قَد كَافَأتُمُوهُ
“Siapa yang memberikan kebaikan untuk kalian, maka balaslah. Jika engkau tidak mampu membalasnya, doakanlah ia sampai-sampai engkau yakin telah benar-benar membalasnya.” (HR. Abu Daud, no. 1672 dan An-Nasa’i, no. 2568. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Bukankah kebaikan lebih pantas dibalas dengan kebaikan?
هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60).
Saudara Sepersusuan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditawari untuk menikahi puteri dari Hamzah bin ‘Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu. Namun beliau tidak bersedia, karena beliau dengan Hamzah adalah saudara sepersusuan.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya mengenai puteri Hamzah bin ‘Abdul Muthallib,
لاَ تَحِلُّ لِى ، يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ ، هِىَ بِنْتُ أَخِى مِنَ الرَّضَاعَةِ
“Ia tidak halal untukku. Mahram karena sebab persusuan, statusnya sama seperti mahram karena nasab. Ia adalah puteri dari saudara sepersusuan denganku. (HR. Bukhari, no. 2645). Berarti puteri Hamzah adalah keponakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sepersusuan.
Tentang Kisah Abu Lahab yang Diringankan Siksanya di Akhirat
Dalam kisah di atas disebutkan bahwa Abu Lahab akan diringankan siksanya di akhirat. Mengenai hal ini telah dijawab oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani sebagai berikut.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa kafir masih dapat kemanfaatan dari amalan kebajikan di akhirat. Namun hal ini bertentangan dengan tekstual ayat Qur’an yang menyebutkan,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)
Jawaban pertama, hadits yang membicarakan hal ini adalah mursal dari ‘Urwah dan tidak disebutkan siapa yang menceritakan padanya (dari sahabat, pen.).
Taruhlah kalau hadits tersebut shahih, bagaimana mungkin mimpi bisa dijadikan hujjah. Sehingga apa yang didapatkan dalam mimpi tidak mungkin bisa diterima.
Jawaban kedua, taruhlah itu diterima. Kita katakan bahwa apa yang terjadi pada Abu Lahab dalam kekhususan karena telah menjadi jalan disusuinya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sama halnya dengan kisah Abu Thalib yang diperingan siksanya berada di permukaan neraka.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan bahwa tidak dianggapnya kebaikan orang kafir maksudnya adalah mereka tidak bisa lepas dari siksa neraka dan tidak bisa masuk surga. Boleh saja mereka diperingan siksanya yang seharusnya mereka mendapatkan siksa yang berat karena ada jasa kebaikan yang mereka lakukan. (Fath Al-Bari, 9: 145)
Tentang Nasib Abu Thalib di Akhirat
Dari ‘Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ؟
“Apakah engkau tidak bisa menolong pamanmu? Karena ia selalu melindungimu dan marah karena membelamu.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
هُوَ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلاَ أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
”Dia berada di permukaan neraka. Andai bukan karenaku niscaya ia berada di kerak neraka.” (HR. Bukhari, no. 3883 dan Muslim, no. 209).
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu,
أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَذُكِرَ عِنْدَهُ عَمُّهُ أَبُو طَالِبٍ، فَقَالَ: «لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ القِيَامَةِ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنَ النَّارِ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ، يَغْلِي مِنْهُ أُمُّ دِمَاغِهِ»
“Suatu ketika ada orang yang menyebut tentang paman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu Abu Thalib di samping beliau. Lalu beliau bersabda,
“Semoga dia mendapat syafaatku pada hari kiamat, sehingga beliau diletakkan di permukaan neraka yang membakar mata kakinya, namun otaknya mendidih.” (HR. Bukhari, no. 3885 dan Muslim, no. 210)
Semoga sajian sirah kali ini bermanfaat dan mendapatkan pelajaran berharga.
Referensi:
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Ar-Rahiq Al-Makhtum. Cetakan kesepuluh, tahun 1420 H. Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Penerbit Darul Wafa’ dan Dar At-Tadmuriyah.
- As-Sirah An-Nabawiyah fi Dhau’ Al-Mashadir Al-Ashliyyah. Cetakan ketiga, tahun 1424 H. Prof. Dr. Hadyu Rizqullah Ahmad. Penerbit Dar Zidni.
- Fath Al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari. Cetakan keempat, tahun 1432 H. Ibnu Hajar Al-Asqalani. Penerbit Dar Thiybah.
- Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim. Cetakan kedelapan, tahun 1421 H. Ahmad bin ‘Abdul Halim bin ‘Abdus Salam bin Taimiyah. Tahqiq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim ‘Al-Aql. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
- Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam. Cetakan kesepuluh, tahun 1432 H. Ibnu Rajab Al-Hambali. Tahqiq: Syu’aib Al-Arnauth dan Ibrahim Yajis. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
- Shahih As-Sirah An-Nabawiyah. Cetakan kesembilan, tahun 1430 H. Ibrahim Al-‘Aliy. Penerbit Dar An-Nafais.
- Zaad Al-Ma’ad fi Hadyi Khair Al-‘Ibad. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Tahqiq: Syu’aib dan ‘Abdul Qadir Al-Arnauth. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. 1: 82.
Referensi Terjemahan:
Fikih Sirah Nabawiyah. Cetakan kelima, 2016. Prof. Dr. Zaid bin Abdul Karim Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
—-
Disusun @ Perpus Rumaysho Darush Sholihin, 30 Syawal 1438 H di Senin siang penuh berkah
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com